27 July 2007

Ketika Hati Harus Memilih

Many people said, HIDUP ADALAH PILIHAN. Padahal untuk hidup saja kita tidak punya pilihan. Kita tidak bisa memilih untuk menjelma dari benih laki-laki dan wanita mana, apakah kita ada karena memang dinanti ataukah kita sebenarnya diharapkan mati. Kita tidak bisa memilih untuk lahir dari rahim siapa, apakah seorang ibu yang beriman dan sholehah, ataukah dari wanita tuna susila yang kebetulan sedang tersentuh nurani keibuannya sehingga kali ini tidak ingin menggugurkan benih yang tumbuh di rahimnya yang bahkan tak pernah tau siapa ayah biologisnya. Kita tidak bisa memilih untuk terlahir di dunia sebagai seorang yang biasa diberi merek laki-laki ataukah sebagai seorang perempuan. Kita bahkan tidak bisa memilih apakah kita memiliki kulit putih, kuning, coklat, atau hitam. Pun kita tidak bisa memilih apakah rambut kita ikal, keriting, atau lurus, ataukah berwarna apa. Kita sama sekali tidak bisa memilih warna mata kita, bentuk hidung kita, dan semua yang wujud nyata pada tubuh kita. Bahkan kita tidak bisa memilih untuk hidup atau tidak hidup saat kita lahir. Tuhan yang memilih semuanya untuk kita.


Bagaimana ketika hati kita harus memilih?

Beragam jawaban pasti terlempar atas pertanyaan ini.

Si A bilang, dengarkan saja apa kata hatimu. Kalau kamu memang yakin bahwa dia yang dipilih oleh hatimu, maka percayalah. Jangan pernah membohongi hati sendiri. Dengarkan suara hati, lalu jalani saja pilihan itu dan terima apa adanya.

Si B berkata, walau kita tidak bisa membohongi hati, tapi hati bisa saja menipumu. Suara hati kadang terlalu sulit dibedakan dengan suara nafsu. Jika nafsumu sudah bicara atas nama hati, maka kamu harus segera menolaknya mentah-mentah tanpa ada kompromi, karena jika nafsu yang menguasaimu, maka nafsu pula lah yang akan mengendalikan hidupmu.

Si C lain lagi jawabannya. Katanya, hati itu bagai selubung misteri. Kita tidak akan pernah tau apa yang ada di dalamnya, seberapapun dalamnya kita menggali. Kita tidak akan pernah tau ada apa di ujungnya, seberapapun kencangnya kita berlari. Dan kita tidak akan pernah melihat puncaknya, seberapapun tingginya kita mendaki. Tidak ada yang bisa mendengar suara hati. Tidak ada yang bisa membaca kata hati. Yang kita lihat sebenarnya hanyalah sebuah tirai. Jadi, mendengar kata hati bagai meraba dalam kegelapan, tak tau apa yang kita lihat, tak tau benar atau salah.

Berbeda pula kata Si D, Si E, dan seterusnya. Jutaan orang manusia, jutaan kepala, jutaan pula isi pikirannya, maka jutaan pula jawaban yang tercipta. Namun adakalanya saat hati bertanya untuk memilih, tak selalu ada jawaban yang tepat untuk dipilih. Saat hati berkata ini baik, disaat yang sama sisi hati yang lain berkata ini tidak baik. Ketika satu sisi hati berkata itu benar, disaat yang sama sisi hati lainnya akan berkata itu salah. Selalu ada kontradiksi yang tercipta dari reaksi yang terjadi di setiap lobus hati. Jadi bagaimana jika hati harus memilih? Mungkin memang kita harus membiarkan Tuhan yang memilih untuk kita.


Dan apakah hidup itu tetap pilihan?
Jika jawaban Anda adalah TIDAK, artinya Anda telah memilih untuk mengingkari hidup dan semua organella juga sel-sel di dalamnya.
Jika jawaban Anda adalah IYA, artinya Anda telah memilih untuk mensyukuri setiap keping serpihan kehidupan yang berserakan di debu jalanan dan bertebaran di jajaran galaksi di tata surya.
Hidup adalah memilih untuk bersyukur, atau kufur.
Hidup adalah memilih untuk hidup, atau lebih hidup.


Dan sekarang Anda tidak punya pilihan untuk tidak membaca tulisan ini sampai titik terakhir. Karena saya telah memilih Anda untuk membacanya.





25 Juli 2007_22.38

No comments: